istimewa. salah satu adegan di film Layu Sebelum Berkembang |
Satire. Ini komentar petama
tentang film “Layu Sebelum Berkembang” yang meluncur dari mulut saya pada
seorang kawan sore itu. Film ini memang bukan film box office atau film yang
dibintangi oleh artis papan atas, tetapi film ini begitu satire. Sindiran keras
Ariyani Djalal, tergambar jelas pada film dokumenter ini. Bukan soal moralitas,
tapi ini adalah gambaran nyata yang ada di institusi pendidikan bernama sekolah
itu.
Layu berkembang bukanlah judul
lagu yang populer di tahun 1970an, ini adalah judul film
dokumenter tentang
dunia pendidikan. Mengisahkan dua anak perempuan kelas enam sekolah dasar
ternama di Yogyakarta. Dua bocah perempuan ini diceritakan sedang menghadapi
ujian nasional. Ya, ujian nasional yang beberapa tahun belakangan menjadi momok
mengerikan bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi orang tua. Film tersebut
menceritakan persiapan anak-anak sekolah dasar yang sedang mempersiapkan diri
untuk menghadapi Ujian Nasional. Film itu juga menceritakan bagaimana
simbol-simbol agama demikian kental di sekolah yang berlabel sekolah ‘negeri’.
Tidak ada yang keliru memang
dengan pendidikan agama di sekolah atau penyematan simbol-simbol agama di
sekolah. Hanya saja, perlu dipertanyakan apakah itu masuk ke dalam diri anak? Apakah
itu bukan suatu tekanan pada diri mereka? Sampai-sampai si anak tidak mengerti
apa yang diberikan di sekolah. Dalam film tersebut digambarkan, kepolosan
anak-anak ketika menghadapi ujian agama Islam di sekolah. Sebelumnya mereka
diperintah untuk mengikuti Baca Tulis Alquran di sekolah. Di ceritakan dalam
film tersebut, bagaimana anak-anak mencari berbagai alasan untuk tidak mengaji
di sekolah. “Saya sedang datang bulan Us,” celetuk salah satu murid, ketika
Sang Ustad datang menghampiri.
Ada pula adegan ketika, Dilla
salah satu anak di film tersebut dengan terpaksa mengaji di depan Ustadnya. Dilla
menunjukkan aksi protesnya dengan tidak mengawali dengan basmallah, membaca
sekenanya, dan begitu selesai langsung kabur begitu saja. Sang Ustad, hanya
geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Dilla dan bergumam “Ya Allah,”
‘Pemberontakan’ kecil juga
dilakukan murid-murid itu ketika ujian praktik sholat. Dengan lugunya si murid
bilang kepada sang guru,”Saya kalau sholat niatnya cuma Bismillah, Pak” ujar
salah satu murid ketika, diminta untuk melafalkan niat sholat. Adalagi sikap Dilla dan Kiky yang tidak mau
berkerudung, padahal akan digelar acara doa bersama di sekolah. Atau Kiky yang
tidak mau bersekolah di sekolah berlabel agama.
Bukan hanya soal Agama, film ini
juga menyindir keras dunia pendidikan yang menurut saya selama ini menjadikan
anak sebagai mesin yang harus terus menerus bekerja. Salah satunya dengan
ucapan guru, ketika pembekalan murid kelas VI. Guru bilang semua murid tidak
boleh sakit selama ujian berlangsung dan pihak sekolah tidak mau ada murid yang
mengikuti ujian susulan karena sakit. Meyedihkan. Memangnya anak-anak itu mesin
yang terus menerus bekerja tanpa jeda.
Film tersebut juga menggambarkan
tekanan dari orangtua agar si anak mendapat nilai terbaik dan masuk di sekolah
favorit. Usaha orang tua Kiky agar si anak mendapat nilai bagus di ujian patut
dijadikan contoh. Tidak hanya menceramahi Kiky dengan petuah-petuah, tetapi
mereka juga membawa Kiky ke orang pintar untuk mendapatkan doa. Tidak salah
memang. Saya melihat bagaimana UN
menjadi sesuatu yang mengerikan, sampai-sampai harus ada doa khusus dari orang
pintar. Orangtuanya kebingungan, sementara Kiky terkesan cuek dan santai.
Dogma agama yang pada akhirnya
tidak dimengerti oleh anak juga terlihat pada dialog Kiky dan Dilla di telepon.
Begini kurang lebih dialognya :
“Jadi besok berangkat jam 06.00?”
kata Kiky, “Kan katanya sebelum ujian mau sholat apaaa gitu, enggak tahu aku,”
sambungnya.
Dialog tersebut barangkali polos,
ungkapan anak-anak yang memang tidak tahu. Tetapi ini perlu menjadi koreksi,
anak-anak menjalankan ‘perintah’ dari sekolah tersebut hanya sekadar
menjalankan ataukah mereka sadar sepenuhnya? Bahkan ketika ayah Kiky
menanyakan, “Memangnya sholah apa tadi pagi Kak?” dengan entengnya Kiky
menjawab,”gak tahu”. Satire memang. Anak-anak seolah dipaksa untuk beribadah
tanpa mereka mengerti dan kesadaran yang dibangun hanyalah simbol.
Menamankan
nilai-nilai agama memang bukan sesuatu yang keliru, tetapi apakah pemaksaan dan
penekanan terhadap anak-anak itu bagus nantinya?
Sekolah favorit memang bukan
jaminan masa depan anak-anak menjadi gemilang. Banyak orangtua yang masih
berpikir bagaimana caranya agar anak-anak bisa bersekolah di sekolah
favorit. Bagaimana orangtua harus
menghadapi ketegangan ketika mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah. Tergambar
bagaimana orangtua Dilla dan Kiky yang memantau detik demi detik urutan anak
mereka di SMP N 8 Yogyakarta. Bahkan digambarkan kesedihan dan ruwetnya pikiran
ibunda Kiky ketika mengetahui anaknya dalam posisi tidak aman di SMP pilihan
kedua. Dan dia harus merayu Kiky untuk mau bersekolah di SMP Muhammadiyah.
Sebetulnya protes-protes kecil
tergambar pada dialog yang khas anak-anak. Misal ketika Dilla mengungkapkan
keresahannya menjelang pengumuman ujian. Ayah Dilla dengan entengnya
mengatakan,”Ah kalau Ungaran kan pasti lulus semua,” dan dibantah oleh Dilla,”Aku
enggak mikir lulus atau enggaknya Pa, tapi NEMku,” kata dia.
Memang banyak cara untuk memaknai
film ini. Tentu saja terserah bagaimana Anda memaknainya, tetapi yang jelas
bagi saya film ini satire, untuk dunia pendidikan di Indonesia.