Perjalanan akhirnya berakhir sudah. Bukan akhir semuanya, tapi setidaknya saatnya membuka halaman baru dan kemudian menulisinya kembali tentu saja dengan cerita-cerita yang baru. Penghujung Januari 2007, ketika palu diketok. Ada rasa sedih, lega, belum rela, senang, kehilangan, campur aduk menjadi satu. Aku tak bisa menceritakan perasaanku ketika itu, aku hanya mampu sesengrukan menangis. Akhirnya semua bisa kulewati. Meski jujur belum sepenuhnya aku bisa percaya kalau aku mampu melewatinya. Satu per satu kutatap wajah-wajah yang barangkali dulu pernah memandangku dengan bengis. Aku hanya berharap tak ada lagi amarah tersimpan dalam dada mereka. Aku melihat air mata bergulir di sela mata yang sembab karena tak tidur semalaman.
Sedikit mengingat memory, detik-detik ketika aku menanggalkan semua. Tepat ketika palu di ketok, kami pergi meninggalkan ruangan. Di luar langit masih hitam, masih ada purnama bulat utuh di atas sana. Aku tidur terlentang di badan jalan, seolah ingin menghempaskan semua beban yang ada di pundakku. Aku menatap langit entah untuk berapa lama. Sampai langit berubah warna, pelan-pelan ia semakin terang. Matahari pagi mulai muncul diufuk timur, di sela rimbunnya pepohonan. Di belakangnya tampak gunung Merapi berdiri kokoh, dari wisma tampak meski agak samar sebuah jalan, barangkali jalan lahar. Konon kawan-kawan berujar kalau semalam ada pijaran keluar dari puncak merapi. Sayang aku tidak bisa menyaksikannya. Belum matahari sempurna, aku kembali masuk ke ruangan untuk mendengarkan hasil apa yang akan ku terima.
Aku duduk di dekat pintu di sampingku kepala sekolah sudah terkulai lemas di atas meja. Barangkali ia tak kuasa menahan kantuk setelah semalaman begadang. Begitu dibacakan hasil rapat, sontak aku keluar mengikuti Hajar yang sudah lebih dulu keluar. Sampai-sampai lupa pendemisioneran pengurus.. di luar langit sudang terang, meski dingin masih terasa. Air mata mulai menetes. Aku kembali masuk ke ruangan. Sasha menyambutku, kami berpelukan beberapa saat. Satu per satu aku menyalami mereka yang pernah memberiku semangat. Dani, kami berpelukan beberapa saat, jika masih ada dendam yang belum termaafkan, barangkali itu saatnya semua lebur. Iswara, kami berjabatan erat, terimakasih Iswara atas kerjasamanya selama empat tahun ini. Senang bisa berpatner denganmu.
Aku, Hajar, dan Vetty pergi ke belakang wisma kami bercengkrama sejenak. Melepas semua beban berbagi kelegaan juga barangkali. Setahun telah berlalu. Begitu cepat barangkali. Sepertinya mataku bertambah sembab, setelah semalaman tak tidur, ditambah lagi aku menagis sesengrukan. Aku mengirim pesan pendek kepad Mas takim. Aku kangen dengan kakakku satu itu, dia banyak memberikan petuah bijak juga nasihat selama aku ada di rumah cinta. Senang rasanya sebentar lagi bisa berbagi perasaanku ketika itu dengannya.
Saat yang peling menyakitkan adalah ketika aku harus menerima kanyataan bahwa aku telah ‘usai’ menunaikan tugas belajar di rumah cinta. Itu artinya aku juga harus berpisah dengan aktivitasku, membuka jalan baru, menjalani hari-hari baru, dan tentunya mengatur jadwal aktivitas baruku.
Hesti baru sesengukan ketika kami semua berjabat tangan memberi selamat kepada mereka yang baru saja naik. Aku tak tahu, barangkali ia menahan. Aku dan Hesti berpelukan erat. Mau tak mau aku kembali menetes. Entah dada ini tiba-tiba saja sesak kembali. Seolah semua memory kembali terbuka. Eka mengajak untuk naik bus kampus saja, barangkali untuk terakhir kalinya. Entah barangkali suatu saat kelak ada moment yang mengantarkan kami lagi.
Dua hari setelah MUSASI, aku mengumpulkan kekuatan untuk dating lagi ke EKSPRESI. Masih sepi, barang-barang masih berserakan. Akun membereskan barang-barangku yang masih tertinggal di EKSRPESI. Membongkar loker redaksi memilah barang pribadiku yang kutinggal di sana dan mengembalikan barang-barang EKSPRESI yang ada padaku. Uwik hanya bisa menatapku, entah apa yang ia rasakan. Dia hanya bercerita kalau sebelum aku Hesti datang dia juga mebereskan semua barangnya. Aku melongok lemari kecil di bawah meja, tempat biasa Hesti menyimpan barangnya, sudah kosong. Aku tersedak. Hanya lebih kurang tiga puluh menit aku di sana kemudian aku bergegas pulang.
Sekarang aku menjalani hari-hari tanpa EKSPRESI. Hanya terdengar kabar tentang EKSPRESI. Sesekali aku berbincang tentang masa lalu dengan siapa saja. Mungkin benar kata Warso, kalau masa lalu itu membebaskan. Tak ada dendam tentang cerita pahit dan menyakitkan di masa lalu. Kami hanya tertawa dan menganggap itu adalah hal konyol yang pernah terjadi. Semua telah tersimpan dalam satu kitab yang barangkali akan menjadi cerita. Semua telah berlalu dan aku telah melaluinya. Entah apa yang terjadi esok. Sepertinya aku akan kehilangan sosok-sosok ceria yang pernah mewarnai hidupku, saatnya kami menentukan legenda pribadi kami. Terimakasih semua! Barangkali aku adalah orang yang selalu saja terjebak pada kejayaan masa lalu.
No comments:
Post a Comment