Tuesday, September 2, 2008

Bukan Kabar Burung

Senin pagi (1/9) adalah hari pertama saya bekerja. Tak lebih dari pukul sembilan saya tiba di kantor. Telepon selular saya bergetar, sebuah pesan masuk. Dari seorang kawan. Dia mengabarkan berita yang membuat saya cukup terkjut. Ya, pucuk pimpinan kampus tempat saya menimba ilmu mangkat. Saya masih belum percaya, tak ayal pikiran kalau teman saya iseng muncul dibenak. Ah, masa berita beginian teman saya bercanda. Coba bertanya pada teman lain. Dan dia membenarkan.
Saya tak bisa konsentrasi mendengar briefing pagi itu. Pikiran saya melayang, teringat pada sosok Sugeng Mardiyono. Seperti film yang berputar, saya mengingat sejumlah persingunggan saya dengan beliau. Entah berapa kali saya beinteraksi dengannya. Sosok kebapakkan tersirat dari wajah rentanya. Teringat ketika wawancara dengannya terkait kasus di kampus, dia selalu menyisipkan nasihat. Bosan memang ketika mendengar kalimat yang meluncur dari bibirnya. Tapi bagi saya, nasihatnya cukup tertanam dalam benak saya. Satu hal ya ng paling saya ingat darinya adalah mencintai keluarga. Bapak yang suka bicara panjang. Bahkan ketika hanya memberikan waktu kami untuk wawancara sepuluh menit, karena keasyikan mengobrol, samapi satu jam.
Di mata saya bapak adalah sosok yang mencintai keluarga. Tak heran di meja kerjanya terpampang foto keluarga. Bukan foto berukuran raksasa yang dibingkai dengan pigura mahal. Tetapi pas foto yang ukurannya tak lebih dari 4 x 6 dan ditempel di sebuah kalender meja. Foto itu pula yang terpampang di meja kerjanya ketika sudah menjabat rektor.
Bapak pula yang dengan sabar meladeni kami, yang terlalu centil meminta foto bersama. Masih teringat ketika wisuda Hajar, bapak bersiap sholat Jumat. Kami mencegat bapak dan meminta foto bersama. Tanpa ragu bapak mengiyakan. Seorang pimpinan yang bersahaja. Tak perhah lupa mengingatkan kami Sapta Guna UNY. Sepertinya lebih dari dua buku bapak berikan kepada saya tentang Sapta Guna UNY.
Meski sering saya tak sepakat dengan kebijakan bapak atau dengan jalan pikiranmu. Saya kehilangan, sosoknya. bersahaja, kebapakan, dan cinta keluarga. Satu hal lagi, sangan sistematis ketika melakukan perencanaan kampus. Barangkali ilmu matematika yang kau kuasai turut berpengaruh. Kabar yang kuterima pagi itu ternyata bukan kabar burung. Saya kehilangan seorang bapak. Selamat jalan Bapak. Awal puasa ini semoga menjadikanmu khusnul khotimah!


4 comments:

Tea said...

huhu...
jadi pingin nangis. serasa kehilangan bapak yg terlalu sering kita nakali tapi tak jua kita meminta maaf padanya.
hiks..., kelingan bapakku

Nufus said...

mb dit udah di jakarta ya? kapan2 mampir ke rumahku ya. gimana mas yang kemaren itu mb?

donlenon said...

turut berduka dit.. tapi semangat ya, di kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri itu?! Gambatte!!

Heste said...

Dita semangat