Thursday, December 4, 2014

Layu Sebelum Berkembang : Satire!

istimewa.
salah satu adegan di film Layu Sebelum Berkembang 

Satire. Ini komentar petama tentang film “Layu Sebelum Berkembang” yang meluncur dari mulut saya pada seorang kawan sore itu. Film ini memang bukan film box office atau film yang dibintangi oleh artis papan atas, tetapi film ini begitu satire. Sindiran keras Ariyani Djalal, tergambar jelas pada film dokumenter ini. Bukan soal moralitas, tapi ini adalah gambaran nyata yang ada di institusi pendidikan bernama sekolah itu.

Layu berkembang bukanlah judul lagu yang populer di tahun 1970an, ini adalah judul film 
dokumenter tentang dunia pendidikan. Mengisahkan dua anak perempuan kelas enam sekolah dasar ternama di Yogyakarta. Dua bocah perempuan ini diceritakan sedang menghadapi ujian nasional. Ya, ujian nasional yang beberapa tahun belakangan menjadi momok mengerikan bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi orang tua. Film tersebut menceritakan persiapan anak-anak sekolah dasar yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Film itu juga menceritakan bagaimana simbol-simbol agama demikian kental di sekolah yang berlabel sekolah ‘negeri’.

Tidak ada yang keliru memang dengan pendidikan agama di sekolah atau penyematan simbol-simbol agama di sekolah. Hanya saja, perlu dipertanyakan apakah itu masuk ke dalam diri anak? Apakah itu bukan suatu tekanan pada diri mereka? Sampai-sampai si anak tidak mengerti apa yang diberikan di sekolah. Dalam film tersebut digambarkan, kepolosan anak-anak ketika menghadapi ujian agama Islam di sekolah. Sebelumnya mereka diperintah untuk mengikuti Baca Tulis Alquran di sekolah. Di ceritakan dalam film tersebut, bagaimana anak-anak mencari berbagai alasan untuk tidak mengaji di sekolah. “Saya sedang datang bulan Us,” celetuk salah satu murid, ketika Sang Ustad datang menghampiri.

Ada pula adegan ketika, Dilla salah satu anak di film tersebut dengan terpaksa mengaji di depan Ustadnya. Dilla menunjukkan aksi protesnya dengan tidak mengawali dengan basmallah, membaca sekenanya, dan begitu selesai langsung kabur begitu saja. Sang Ustad, hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Dilla dan bergumam “Ya Allah,”
‘Pemberontakan’ kecil juga dilakukan murid-murid itu ketika ujian praktik sholat. Dengan lugunya si murid bilang kepada sang guru,”Saya kalau sholat niatnya cuma Bismillah, Pak” ujar salah satu murid ketika, diminta untuk melafalkan niat sholat.  Adalagi sikap Dilla dan Kiky yang tidak mau berkerudung, padahal akan digelar acara doa bersama di sekolah. Atau Kiky yang tidak mau bersekolah di sekolah berlabel agama.

Bukan hanya soal Agama, film ini juga menyindir keras dunia pendidikan yang menurut saya selama ini menjadikan anak sebagai mesin yang harus terus menerus bekerja. Salah satunya dengan ucapan guru, ketika pembekalan murid kelas VI. Guru bilang semua murid tidak boleh sakit selama ujian berlangsung dan pihak sekolah tidak mau ada murid yang mengikuti ujian susulan karena sakit. Meyedihkan. Memangnya anak-anak itu mesin yang terus menerus bekerja tanpa jeda.

Film tersebut juga menggambarkan tekanan dari orangtua agar si anak mendapat nilai terbaik dan masuk di sekolah favorit. Usaha orang tua Kiky agar si anak mendapat nilai bagus di ujian patut dijadikan contoh. Tidak hanya menceramahi Kiky dengan petuah-petuah, tetapi mereka juga membawa Kiky ke orang pintar untuk mendapatkan doa. Tidak salah memang.  Saya melihat bagaimana UN menjadi sesuatu yang mengerikan, sampai-sampai harus ada doa khusus dari orang pintar. Orangtuanya kebingungan, sementara Kiky terkesan cuek dan santai.

Dogma agama yang pada akhirnya tidak dimengerti oleh anak juga terlihat pada dialog Kiky dan Dilla di telepon. Begini kurang lebih dialognya :
“Jadi besok berangkat jam 06.00?” kata Kiky, “Kan katanya sebelum ujian mau sholat apaaa gitu, enggak tahu aku,” sambungnya.
Dialog tersebut barangkali polos, ungkapan anak-anak yang memang tidak tahu. Tetapi ini perlu menjadi koreksi, anak-anak menjalankan ‘perintah’ dari sekolah tersebut hanya sekadar menjalankan ataukah mereka sadar sepenuhnya? Bahkan ketika ayah Kiky menanyakan, “Memangnya sholah apa tadi pagi Kak?” dengan entengnya Kiky menjawab,”gak tahu”. Satire memang. Anak-anak seolah dipaksa untuk beribadah tanpa mereka mengerti dan kesadaran yang dibangun hanyalah simbol.  
Menamankan nilai-nilai agama memang bukan sesuatu yang keliru, tetapi apakah pemaksaan dan penekanan terhadap anak-anak itu bagus nantinya? 

Sekolah favorit memang bukan jaminan masa depan anak-anak menjadi gemilang. Banyak orangtua yang masih berpikir bagaimana caranya agar anak-anak bisa bersekolah di sekolah favorit.  Bagaimana orangtua harus menghadapi ketegangan ketika mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah. Tergambar bagaimana orangtua Dilla dan Kiky yang memantau detik demi detik urutan anak mereka di SMP N 8 Yogyakarta. Bahkan digambarkan kesedihan dan ruwetnya pikiran ibunda Kiky ketika mengetahui anaknya dalam posisi tidak aman di SMP pilihan kedua. Dan dia harus merayu Kiky untuk mau bersekolah di SMP Muhammadiyah.

Sebetulnya protes-protes kecil tergambar pada dialog yang khas anak-anak. Misal ketika Dilla mengungkapkan keresahannya menjelang pengumuman ujian. Ayah Dilla dengan entengnya mengatakan,”Ah kalau Ungaran kan pasti lulus semua,” dan dibantah oleh Dilla,”Aku enggak mikir lulus atau enggaknya Pa, tapi NEMku,” kata dia.

Memang banyak cara untuk memaknai film ini. Tentu saja terserah bagaimana Anda memaknainya, tetapi yang jelas bagi saya film ini satire, untuk dunia pendidikan di Indonesia.


No comments: