Wednesday, October 29, 2014

Mengapa Susi?


Susi Pudjiastuti di tangga Istana Merdeka/istimewa


Media sosial kembali geger. Gara-garanya, setelah pelantikan media mulai melansir profil para menteri. Itu wajar, sama ketika saya meliput pelantikan menteri tahun 2011 lalu. Menteri-menteri yang dianggap ‘unik’ menjadi sasaran empuk media untuk di wawancara.  Oktober 2011, mata saya tertuju pada sosok Widjajono Partowidagdo. Pak Wid, demikian dia akrab disapa. Penampilan Pak Wid, di minggu sore itu cukup menarik perhatian kami. Rambut gondrong, tas kumal, dan penampilan yang cuek bebek. 

Pak Wid kembali menjadi pusat perhatian, ketika pelantikan dia masih dengan rambut gondrongnya yang dia rapikan setelah didekati oleh Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi. Entah apa yang Sudi bilang ketika itu, yang jelas dia merapikan rambut dan membenarkan letak kopiahnya setelah Sudi mendekat. Usai pelantikan, saya mendekati Pak Wid. Berbincang ringan dengannya. Ternyata Pak Wid seorang pendaki gunung. Bahkan dia lupa berapa banyak gunung yang dia daki. Ketika itu dia bilang, dalam waktu dekat dia akan mendaki Tambora. Dan ternyata itulah yang menjadi pendakian dia terakhir.

Pak Wid ketika pelantikan di Istana, Oktober 2011
Pak Wid, dulu disorot karena penampilannya yang cuek. Ya, dia memang cuek. Saya memperhatikan detail kemeja yang dia kenakan, bukan kemeja baru. Demikian pula dengan jas yang melekat. Bukan jas baru yang kerahya masih kaku. Tas Pak Wid, yang sobek pun jadi perhatian mata jurnalis ketika itu. Gaya dia cuek dan slengekan, banyak komentar miriing padanya, “Orang gak rapi kok jadi wamen”. Dalam hati saya bertanya, memang kerapian seseorang jadi ukuran prestasinya?

Menteri BUMN, Dahlan Iskan ketika itu juga jadi sorotan. Dahlan yang  langsung melepas jasnya usai pelantikan, melepas dasi lalu disampirkan di bahu, menggulung lengan baju, dan menyopiri sendiri mobil pribadinya. Oh iya mobil Dahlan ketika itu tidak diparkir di halaman Istana negara, tetapi di halaman gedung Sekretariat Negara. 
Dahlan Iskan usai pelantikan.

Entah bisa disamakan atau tidak, kejadian berulang. Kali ini yang ketiban pulung Susi Pudjiastuti. Perempuan pengusaha, sukses, dan sekarang jadi menteri. Bu Susi bertato dan merokok jadi sorotan media usai pelantikan. Bukan itu saja, Bu Susi yang ‘hanya’ lulusan SMP juga menjadi sorotan.. hufft lagi-lagi masyarakat kita terkonstruk dengan pemikiran, bahwa kalau mau menjadi ‘orang’ haruslah punya pendidikan tinggi. Padahal pada kenyataannya puluhan bahkan ratusan mereka yang bergelar sarjana masih menganggur. Bisa jadi mereka yang mencibir Bu Susi adalah pengangguran. Ironis.

Publik pun heboh, semua berubah menjadi ‘hakim moralitas’. Perempuan kok merokok, perempuan kok bertatto? Lulusan SMP kok bisa jadi menteri? Ada yang salah? Salah karena dia menteri? Salah karena dia merokok di Istana? Atau salah karena dia perempuan? Sedemikian sakralnya kah Istana sampai-sampai orang tidak boleh merokok? Atau sedemikian rendahnya lulusan SMP sampai-sampai dia tidak layak menjadi menteri.

Bahkan ada yang berkomentar, perempuan harus kembali ke fitrahnya sebagai Ibu. Lagi-lagi harus menghela nafas untuk yang macam begini. Fitrah apa? Fitrah yang mana? Bukankah sifat yang tak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan adalah hamil, melahirkan, menyusui, menstruasi. Tetapi sifat-sifat lain itu bukannya masih bisa dipertukarkan? Mengurus anak, memasak, bekerja di luar rumah, mendidik anak, dll. Lalu fitrah manakah yang dimaksud?  

Soal rokok saya juga tidak suka sama rokok, tapi bukan berarti saya bisa seenak jidat melarang orang merokok. Kecuali dia merokok dan menganggu saya, misal dia merokok di kendaraan umum, di taman, di ruang ber-AC bisa-bisa tanduk saya langsung keluar.  Tapi, saya tidak sepakat ketika rokok kemudian dikait-kaitkan dengan posisi seseorang atau jabatan yang melekat pada diri seseorang. Apalagi seorang perempuan. Saya punya banyak teman perempuan dan perokok. Tapi saya tidak pernah protes pada mereka, kenapa mereka merokok. Saya diamkan saja.  Mereka pun memahami hal itu, mereka akan tidak merokok di hadapan saya, atau mereka minta izin ketika akan merokok Saya perempuan dan tidak merokok. Bukan karena saya perempuan, saya tidak merokok tapi karena alasan kesehatan.

Pun saya tidak sepakat, ketika Susi dibandingkan dengan Ratu Atut. Ada komentar, kalau Ratu Atut yang berjilbab, rutin mengadakan pengajian, mengumrohkan orang tetapi akhirnya terjerat korupsi. Bagi saya, agama tidak bisa dikaitkan dengan perilaku seseorang. Itu dua hal berbeda yang tidak bisa disamakan. Sama ketika orang mendiskreditkan Susi, bahwa sebagai menteri dia tidak bisa dijadikan contoh karena rokok, tato, dan hanya berpendidikan SMP.

Jilbab sebagai simbol agama, tidak bisa menjadi ukuran tindak-tanduk seseorang. Memang ketika seorang perempuan muslim berjilbab sudah selayaknya dia bisa menjaga sikapnya. Tetapi, ketika ada tindakannya yang keliru itu bukan salah jilbabnya tetapi pribadi dia.

Muncul kekhawatiran bahwa nanti anak-anak akan punya pemahaman bahwa tidak perlu sekolah tinggi-tinggi toh jadi bisa juga jadi menteri. Naaaahhh bukannya ini tugas dari pendidik, orangtua, dan para sarjana yang mengaku berpendidikan itu untuk memberi penjelasan kepada anak-anak. Soal merokoknya Bu Susi, juga tidak bisa serta merta disalahkan. Di mana orangtua, pendidik, mendampingi anak-anak menonton televisi dan mengkonsumsi berita? Kemana mereka? Asyik bermain facebook? Tangan tak pernah lepas dari gadget? Woi woi woi..

Pejabat pun seharusya juga instropeksi. Bukan hanya Bu Susi, tetapi semua pejabat yang merasa sering merokok di tempat umum bahkan di ruang kerjanya. Mereka lepas dari sorot kamera. Dan setahu saya, ada etika kalau narasumber yang merokok seharusnya dikaburkan gambarnya, dan tidak dipublish. Bahkan kameraman sering meminta narasumber untuk mematikan rokoknya selama wawancara berlangsung. Tiga tahun lalu, saya mewawancarai Susi di kediamannya. Seingat saya ketika itu, juru kamera meminta Susi untuk mematikan rokoknya, sebelum sesi wawacara dimulai. Dan membaca berita, Susi sempat meminta untuk wawancara distop sementara, selama dia masih merokok.  Pertanyaan saya kenapa Bu Susi yang kena? Kenapa bukan pejabat yang berjenis kelamin laki-laki itu diserang soal rokoknya?

Soal pendidikan, Dahlan Iskan mantan Menteri BUMN yang banyak diidolakan itu juga ‘hanya’ lulusan SMA. Tapi, lihat dia mampu mengelola perusahaan koran terbesar di Indonesia. Bahkan, di tangannya perusahaan setrum negara mengalami banyak perbaikan,  di tangannya juga BUMN berbenah. Tapi kenapa Dahlan Iskan tak pernah dipermasalahkan? Apa karena dia laki-laki dan Susi perempuan?


No comments: