Tuesday, May 13, 2008

Kenapa Saya Ingin Jadi Wartawan*

Saya Fadila Fikriani Armadita. Saya biasa dipanggil Dita. Anak pertama dari dua bersaudara, saya memiliki seorang adik laki-laki. Saya dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang cukup demokratis. Kedua orang tua saya membiarkan saya dan adik saya untuk memilih apa yang kami inginkan. Mulai dari sekolah, kesukaan, organisasi, teman, bahkan sampai cita-cita. Kedua orang tua tidak pernah memaksakan kehendak bahwa saya harus jadi yang mereka inginkan.

Saya menempuh pendidikan mulai dari bangku Taman Kanak-kanak (TK), konon kata ibu saya, ketika usia empat tahun saya sudah mengenal huruf dan pada usia lima tahun saya sudah lancar membaca. Tidak heran ketika kawan-kawan sebaya saya menghabiskan jam istirahat untuk bermain, tidak bagi saya. Perpustakaan adalah tempat alternative untuk menghabiskan waktu istirahat. Sepulang sekolah saya pasti membawa pulang buku cerita. Malam harinya sebelum tidur saya meminta ibu saya untuk membacakannya padahal di sekolah buku itu sudah habis saya baca. Ketika ibu saya membacakan cerita dan ceritanya sedikit diplesetkan saya protes dan berkata bahwa bukan seperti itu ceritanya.

Ketika duduk di bangku SD, saya mulai banyak mengenal banyak kawan-kawan. Di bangku kelas satu itulah saya mulai berpikir tentang cita-cita. Meski ketika itu cita-cita yang ada dalam benak saya adalah profesi yang saya lihat dan saya kagum pada profesi tersebut. Tidak seperti anak-anak pada umumya yang kebanyakan bercita-cita ingin menjadi seorang dokter, insinyur, polisi, atau apa saja saya justru bercita-cita menjadi seorang guru, tidak heran ketika ibu guru saya pergi meninggalkan kelas saya ‘mencoba’ untuk menjadi guru di depan kelas.

Saya mengagumi sosok guru, bukan karena ibu saya seorang guru. Dari sosok guru itulah saya banyak belajar tentang apa saja. Kekaguman saya terhadap seorang guru pernah meudar ketika saya duduk di bangku kelas lima SD. Guru saya ketika itu adalah guru yang ceplas-ceplos ketika ada murid yang keliru dalam menjawab seketika itu ia mencelanya habis-habisan, bahkan tidak jarang ia memberi si murid julukan. Beruntung saya tidak termasuk murid yang diberi julukan atau mendapat umpatan. Terkadang saya merasa kasihan dan prihatin kepada kawan saya yang kerap diperlakukan tidak selayaknya.

Selama di bangku sekolah dasar itulah cita-cita saya seringkali berubah-ubah. Satu yang paling saya ingat, saya bercita-cita untuk menjadi seorang wartawan. Saya kerap melihat di televisi, seorang reporter melaporkan peristiwa, atau seorang reporter yang tengah mewawancarai pejabat negara. Dari situlah keinginan saya untuk menjadi wartawan mulai muncul. Satu cita-cita saya, ingin belajar menjadi wartawan sejak kecil. Di bangku Sekolah Menengah Pertama, sebetulnya ada ekstrakulikuler Majalah Dinding (Mading) yang sebetulnya bisa menjadi wadah belajar buat saya. Akan tetapi saya tidak memilihnya karena satu alasan tidak ada teman yang memilih ekstra itu.

Masuk ke bangku SMA saya bercita-cita untuk ikut ekstrakulikuler Mading atau apa sajalah yang terkait dengan jurnalistik. Tetapi sepertinya dewi fortuna belum berpihak pada saya. Di SMA saya tidak ada pilihan ekstrakulikuler Mading atau sejenisnya. Di SMA saya memilih kerohanian Islam sebagai organisasi pilihan saya selain itu saya juga memilih Dewan Ambalan (DA) Pramuka. Dari kedua organisasi itulah Rohis dan DA saya belajar banyak hal tentang organisasi, tentang persekawanan, tentang kehidupan, dan juga cara yang tepat bagaimana mengolah emosi.

Cita-cita terpendam saya untuk menjadi seorang wartawan belum pudar. Cita-cita pulalah yang membuat saya memilih jurursan Ilmu Komunikasi. Namun apa daya, jurusan Ilmu Komunikasi, mempunyai grade yang cukup tinggi dan peminatnya cukup banyak. Bagi saya yang memiliki nilai pas-pasan tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk memilih jurusan tersebut. Kemudian seseorang menyarankan kepada saya untuk memilih Jurusan Sastra Indonesia, sebuah jurusan yang sama sekali tidak pernah terbayang dalam pikiran saya.

Justru dari sesuatu yang tidak terbayangkan itulah saya mendapat apa yang selama ini saya idamkan. Di kampus saya berkenalan dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) tanpa pikir panjang lagi ketika lembaga itu membuka pendaftaran saya langsung mengambil keputusan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota. Di LPM EKSPRESI, saya belajar banyak hal. Utamanya tentang jurnalistik, sebuah dunia yang selama ini saya idam-idamkan.Di LPM pula saya belajar mengelola sebuah media mulai dari bulletin sampai pada akhirnya dipercaya untuk memegang tampuk tertinggi di redaksi.

Di lembaga inilah lagi-lagi kestabilan emosi saya ditantang. Saya dihadapkan dengan orang-orang yang bandel, tidak tepat dead line, atau orang-orang yang mangkir dari tugasnya. Menghadapai karakter orang yang beragam itulah yang membuat saya banyak belajar tentang bagaimana cara menghadapi orang siapa dan bagaimana pun dia. Saya cukup menikmati perjalanan hidup saya di EKSPRESI, sebuah arena yang saya anggap sebagai rumah kedua sekaligus tempat menempa ilmu lain selain yang saya dapatkan di bangku kuliah.

Kegiatan saya yang cukup menyita waktu di LPM, membuat saya sedikit menunda waktu untuk menyelesaikan kuliah saya. Akan tetapi saya tidak pernah menyesal karena saya mundur satu tahun dari jadwal yang semestinya saya tidak melakukan kegiatan yang sia-sia. Saya belajar sebagai langkah awal untuk meraih cita-cita, menjadi seorang wartawan.

*Tulisan ini saya tulis ketika melamar di Jawa Pos. Saat saya mengundurkan diri awal Mei lalu, tulisan ini diberikan pada saya. Saya anggap ini sebagai sebuah prasasti. Yah..semoga saya selalu ingat kalau perjalanan saya masih panjang untuk menggapai cita-cita ini.

No comments: