Sunday, June 8, 2008

SAKSI BISU*


Entah sudah berapa lama aku berdiri di tepi jalan ini. Di depanku berdiri tegak sebuah bangunan kokoh tegak menjulang langit. Lama ku tatap bangunan itu terus ku tatap berharap setiap kedipan mata bangunan itu berubah seperti sepuluh tahun lalu, tepat saat pertama kali ku injakkan kaki disini. Sia-sia ! bangunan kokoh itu, bukan lagi sebuah gedung tua yang catnya mengelupas di sisi-sisinya, apalagi Cakruk itu sudah tiada lagi. Mungkin ia telah terkubur dalam tanah bersama reruntuhan gedung tua itu.
Ingatanku kembali pada sepuluh tahun lalu. Saat pertama kalinya aku bercengkrama dengan gedung tua itu……
Dinginnya malam mulai menggigit tulang rusukku. Malam yang kian larut Aku duduk sendiri di Cakruk yang baru satu bulan berdiri. Tanpa kusadari berapa banyak orang yang berlalu lalang di hadapku. Entah berapa kendaraan yang melintas di depanku. Aku menunduk jika ada orang yang bertanya akan ku jawab, “Aku sedang menghitung semut yang sedari tadi hilir-mudik di depanku.” Sayang belum ada orang yang menyapaku, mungkin mereka enggan,atau bisa jadi mereka sedang asyik dengan pikirannya sendiri, sama sepertiku. Dari kejauhan ku tangkap sebuah bayangan yang perlahan mendekatiku, semula aku tak yakin, tapi bayangan itu kian mendekat aku jadi yakin, bayangan milik seorang Pram. Tanpa bicara sepatah katapun ia duduk tepat di sampingku. Asap rokok yang mengepul dari mulutnya mulai menyesakkan dada, kutepiskan asap itu dengan tangan, sebagai isyarat aku tak suka ia merokok dihadapanku. Ia tersenyum dan mematikan rokoknya.
Satu menit dua menit kebisuan terjadi, di menit ketiga suara Pram memecah keheningan hatiku dimalam itu. Kata-kata meluncur deras dari mulutnya, aku mulai bangkit kadang aku mengiyakan perkataannya, kadang pula kutangkis pernyataannya. Dingin dan heningnya malam tak terasa lagi yang ada hanya cercauan suara Pram dan Aku. Tidak hanya suara kami saja yang memecah keheningan malam itu. Suara In, Wan, Di, dan beberapa suara yang biasa meramaikan suasana setiap malam Jumat.
Dari situ dan sejak saat itu aku mulai temukan kepingan hidupku yang selama ini hilang. “Tidak hilang, De tapi terselip”kata-kata Pram selalu terngiang ditelingaku. Obrolan kami di depan gedung tua atau lebih tepatnya di Cakruk itu setiap malam Jumat beragam, mulai dari keseharian kami, sampai dengan masalah-masalah yang ada di sekitar kami. Sungguh satu pelajaran yang sarat akan makna bagiku kala itu.
Waktu ia bagai air yang mengalir, terus tanpa pernah lelah dikenalnya. Lima tahun kebersamaan kami, mengingatkan kami pada masa depan yang sudah menantang di depan mata. Toga kami sandang hari itu, bahagia meski ada duka yang begitu dalam dihati kami. Bagi kami apa arti ijazah yang kami terima saat itu dibanding persahabatan yang telah erat ini.
Hari ini terakhir kuinjakkan kaki di gedung tua, beberapa orang menyapaku ringan dan memberiku selamat. Beberapa orang tampak acuh, mata mereka menatapku tajam seolah mereka ingin mengetahui rahasia apa yang kusimpan dalam mataku. Aku bergidik ngeri, segera kupalingkan wajahku untuk menghindari tatapan mata mereka. Dan kucoba sapa wajah-wajah lainnya meski tampak sangar akan tetapi tatapan mata mereka teduh tidak setajam yang lain.
Sejak itu aku benar-benar pergi meninggalkan gedung tua, cakruk dan kenangan liar yang tersisa di sana. Aku diterima disalah satu penerbit besar di Ibukota, aku mulai sibuk dengan pekerjaan baruku, meski tak jauh berbeda dengan aktivitasku dulu. Aku merutuki diriku sendiri yang mulai tak peduli lagi dengan kehadiran surat dari sahabat-sahabatku, terutama Pram. Tak terhitung lagi berapa kali ku tolak telpon dari Pram saat kulihat nomornya muncul dilayar handphoneku. Berapa surat Pram yang kubiarkan menumpuk di meja kerjaku dan berakhir di tong sampah.
Sesal memang datang kemudian, entah angin apa yang membawaku untuk membuka surat dari Pram, yang sudah agak kumal. Kata kawanku, surat itu sudah tiba satu bulan yang lalu. Aku tergegap oleh isi surat Pram, yang mengatakan bahwa terjadi satu keributan di gedung tua itu, tempat kami dulu bernaung, beberapa aktivis memporak-porandakan semuanya, termasuk cakruk itu.
Entah perasaan apa yang menyelimuti hatiku, semuanya campur jadi satu. Rasa bersalah, takut, sedih, dan sakit. Hari itu juga ku putuskan untuk pulang melihat puing-puing kehancuran gedung itu. Sepanjang perjalanan tak pernah aku berhenti untuk tidak merutuki diriku sendiri. Kesalahan terbesr yang tak pernah aku maafkan.
Hanya dalam sekejap waktu, selama lima tahun aku pergi meninggalkan arena ini, banyak perubahan yang terjadi.
Gedung tua yang catnya sudah mengelupas, berhias lumut liar di sisi-sisinya, gedung tua saksi bisu perubahan pada diriku, Cakroek mungil tempat lahir perubahan besar dalam hidupku telah lenyap, menghilang tanpa tilas sejengkalpun.
Lima tahun aku tinggalkan gedung ini, selama itu juga aku jarang bahkan bisa dibilang tidak pernah berhubungan dengan In, Wan, Di, ataupun lainnya tidak terkecuali Pram sekalipun. Di mana mereka, kerinduan pada mereka mulai menghinggapi hati ini. Sekala itu aku sadar aku kehilangan mereka, ingin rasanya aku berlari dari tempatku berpijak, tapi aku tak mampu, aku hanya bisa diam dan menangis, menyesali semua.
“De….” sebuah suara mengejutkanku. Perlahan aku menoleh, setengah tak percaya dengan pengelihatanku sendiri, aku melihat kembali seorang Pram untuk pertama kalinya sejak lima tahun lalu.
“Apa kabar, De?” tanyanya, tatapan matanya yang tak pernah bisa aku lupankan. Setengah terpana aku anggukan kepala, terbata-bata kujawab tanyanya “Ba..ba.baik, Kamu ?”. Dia tersenyum, tanpa ada makna yang bisa kuartikan disana. “Baik, seperti yang kamu lihat,” suaranya masih tegas seperti dulu. Kami terdiam larut dalam pikiran dan perasaan kami masing-masing. Tapi dari sorot matanya bisa kubaca disana ia menyalahkan aku yang tak pernah lagi peduli dengan semuanya.
“Gedung tua itu Pram, Cakruk itu….semua kemana?” tanyaku perlahan.
“Hilang, De…ia marah ditinggal kekasihnya” jawaban singkatnya begitu menusuk hatiku.
“Ia lelah setelah sekian lama menunggu..”aku berkomentar pendek.
“Selepas kita, makin jarang Cakruk itu diduduki, ia hanya berteman debu dan sarang laba-laba, apalagi gedung tua itu, tak ada tangan yang rela menjamahnya, yah…hanya laba-laba, tikus dan lalat yang masih setia menyentuhnya….” Suara Pram yang tadinya tegas berubah sendu. Aku semakin tidak mengeri perkataannya. Pram menghela nafas panjang, kemudian meneruskan kalimatnya “Pemberontakan itu terjadi lagi, yang kali ini justru dimotori oleh mereka sendiri perintis ramainya gedung itu, akhirnya gedung itu sepi, satu persatu penghuninya pergi tanpa tilas sedikitpun, mereka pergi dan tak pernah kembali, hanya laba-laba, tikus dan kecoa yang masih sudi menempatinya.Hingga pihak yang berwajib merehab total gedung itu, seperti yang kau lihat saat ini, De” Pram mengakhiri uraian panjangnya.
Aku tak lagi kuasa membendung air mata, ia mengalir deras begitu saja, lepas tanpa beban. “Tak ada lagi yang tersisa Pram, semua musnah hanya kenangan antara kita, gedung tua dan cakruk itu yang masih tersimpan rapi dalam ingatan, maafkan aku Pram, aku…..” tak kuasa aku melanjutkan kalimatku.
“Tak ada yang harus disesali, Semua sudah terlambat biar semua menjadi kenangan…. Kita buka lagi langkah baru, semua masih bisa diperbaiki.”tandas Pram padaku. “Ayo, De jangan terlalu larut dalam kesedihan kita pulang, semuanya telah menunggu”
Perlahan Pram dan Aku meninggalkan bangunan kokoh yang ujungnya menantang langit. Saksi bisu itu telah tiada, Ia telah terkubur bersama kenangan.r

*ditulis bersama sanggar suwung di tahun 2004. Untuk mengenang gedung rektorat lama yang sebentar lagi hilang hiksss…2x

No comments: