Monday, July 14, 2008

DIA dan KAHURIPAN



Nekat! Mungkin itu kata yang tepat melekat pada diriku saat ini. Meski orang tuaku melarang aku tetap berangkat ke Bandung, dengan logistik yang termasuk mepet, Aku memutuskan untuk tetap berangkat apapun resikonya aku siap menanggung. Harapan yang bersemanyam dalam hati, dengan kepergianku ke Bandung semua kekesalan yang mengendap dapat mencair kemudian terserak sepanjang perjalanan Jogja-Bandung. Kahuripan yang membawaku menuju ketenangan dipenuhi sesak oleh beragam manusia, pun dengan kepentingan mereka.
Peliut tanda kereta siap berangkat dibunyikan, aku bersiap membuang semua kepedihan yang sudah beberapa kala terendam dalam hati. Tidak semua manusia yang bejejal dalam kereta ini duduk rapi di kursi yang tersedia. Sebagian harus rela melantai, karena kursi-kursi sudah dipenuhi oleh puluhan manusia lain. Pun dengan aku. Satu jam pertama mengawali lamunan panjang. Tidak mudah bagiku untuk mengambil keputusan ini selaih harus berperang dengan orang tua, aku juga harus berperang dengan kata hatiku sendiri. Seorang pedagang nasi bungkus membangunkan aku dari lamunan “Nasi ayam, Mbak dua ribu,”tawarnya padaku seraya menyodorkan bungkusan nasi itu ke mukaku, aku menggeleng dan pada detik lain aku kembali hanyut pada alam pikirku.
Masih Ia yang menjadi beban pikirku saat ini , sekaligus menjadi penyebab utama aku mengambil keputusan untuk nekat pergi, meski yah itu tadi aku harus berperang dengan orang tua juga hati kecilku. Entah setan mana yang merasuki jasadku saat itu, reflek aku merogoh saku celana, mengambil HP dan menulis sebaris kata di sana
Di, sekarang aku dalam perjalanan menuju Bandung, aku pergi, selamat tinggal Jogja, Kamu baik-baik, jangan nakal jangan lupa ISHOMA…
Dan ibu jarikupun memijit tombol OK! Pesan terkirim detik itu juga padanya. Aku sendiri tak habis pikir merutuki diriku sendiri, betapa bodoh dan tololnya Aku, dia yang membuatku mengambil keputusan untuk pergi, tetapi mengapa aku harus mengirim pesan padanya. Aku percaya, tak akan ada balasan tertuju padaku, aku pecaya itu. Ada perasaan kecewa bercampur sesal saat itu, namun segera kutepis jauh-jauh, kunikmati saja perjalanan ini, meski aku harus membayar mahal semua.
Mentari Kota Kembang menyambutku. sebuah angkot merah mengantarkan aku pada sebuah pondokan kecil sebagai sarana bagiku beristirah. Pagi menjelang siang sebuah pesan masuk demikian bunyinya
Say, katanya kamu ke Bandung ya? Ada apa ? Sama siapa aja? (Dia)
Aku terkejut, “Sialan ganggu orang tidur saja!”rutukku dalam hati. Kujawab pesan itu apa adanya, tanpa basa-basi sedikitpun.
Ada kongres, sama teman-teman.
Kemudian setelah itu tak ada lagi pesan dari Dia masuk. Bagus itu akan membantuku untuk melupakan dia.
Melupakan Dia, ternyata tidak semudah yang kukira banyak hal yang memaksaku mengingatnya lagi. Seperti siang itu sebuah sosok tiba-tiba saja datang di sampingku, aku memang mengenalnya tapi sudah lama kami tak bersua, dia datang dan duduk disampingku. Sosok itu memang tak banyak bercakap, persis ketika aku mengenalnya beberapa bulan lalu. Tetapi ada kesamaan antara Sosok itu dengan Dia, mereka sama-sama punya nama yang sama. Kontan saja dalam pikirku terbersit untuk menghindari Sosok itu dan menjauhinya, namun di detik lain aku sadar, Dia dan Sosok itu adalah dua insan yang berbeda hanya sebuah kebetulan belaka mereka punya nama sama. Malam, menurut seorang kawan baikku adalah negeri imajinasi. Ada benarnya juga kata Kawanku itu seperti malam ini bersama sehimpun kawan baru aku menyusuri jalanan kota Bandung yang masih tampak ramai meski hari sudah makin larut. Semua membisu, asyik dengan pikiran kami masing-masing. Yang ada dalam pikirku hanya bagaimana cara untuk melepas bayang-bayang Dia dalam hidupku.
Malam semakin larut udara dingin mulai menyergap dan menggigit tulang belulangku. Acara yang ku ikuti masih saja berlangsung. Baju hangatku ada di atas, enggan rasanya kaki ini melangkah naik. Akhirnya kubiarkan saja dingin mengigit tulangku. Beberapa aktivis mulai berkoar di depan beradu pendapat juga mempertahankan ego masing-masing. Beberapa lagi malah asyik ‘bercinta’ dengan apa saja yang mereka sukai, entah itu buku, koran, catatan harian, bahkan ada di antara mereka yang telah terbang ke alam mimpi. Pun dengan aku yang setengah menyimak jalannya persidangan, terkadang pikiranku melayang jauh, sekali menangkap Dia, ketika sadar kutepis pikiran itu, kemudian kembali ke jalan lurus menyimak jalannya sidang, meski setengah mengantuk.
Ponsel ku lagi-lagi bergetar, kuraih benda itu ternyata Dia yang menghubungiku, kulirik casio biru yang melingkar dilengan kiri 00.36 mau apa Dia, tumben belum tidur! Seorang teman tertawa setengah mengejek, coba merajukku dengan berkata “Dia kangen, kali” Aku hanya tersenyum kecut mendengar selorohnya, temanku ini bisa-bisanya dia berseloroh begitu menciutkan nyaliku saja untuk melupakannya. Kemudian temanku ini kembali asyik dengan aktivitasnya semula bercengkrama dengan sesama aktivis sampai adzan subuh menjelang. Terus terang aku jengah dengan keadaan ini, mereka para aktivis asyik ngoceh dengan segudang pengetahuan yang mereka miliki, meski terkadang lucu dan tak jelas juntrungannya, beberapa temanku asyik dengan aktivitasnya masing-masing, satu orang asyik bercenngkrama dengan aktivis dari kampus demokrasi, satu lagi sedang tenggelam dalam buku yang sedari berangkat dibawanya kemanapun ia melangkah, sementara satu lagi sedang panas dingin karena sedang didekati oleh aktivis kampus putih. Sementara aku mencoba mengusir kejengahan, asyik dengan diriku dan alam pikirku, kali ini aku sepakat dengan kawan baikku itu, Malam adalah negeri imajinasi.
Lima hari berlalu, meski belum sepenuhnya Aku bisa juga melupakan Dia. Menjelang kepulanganku ke Jogja, ponselku berdering sebuah pesan masuk, ternyata Dia.
Say, kamu Bandungnya dimana? Sekarang aku ada di Stasiun mau jemput kamu, pulang hari inikan? Kita pulang bareng ke Jogja, tunggu aku jangan pulang dulu, Say aku kangen tapi aku nggak bercanda. (Dia)
Temanku tersenyum, seolah tahu aku enggan membalas pesan itu, direbut ponselnya dari tanganku, kemudian dengan lincah jemarinya menari di atas tuts ponsel, aku biarkan saja temanku membalas pesan itu, toh paling-paling Dia hanya basa-basi saja, hanya ingin meredam amarahku.
“Kamu bilang apa sama Dia?tanyaku pasca pesan itu terkirim pada Dia. Ia hanya tersenyum, kemudian menjawab, “Ku bilang kita ada di jalan Musthofa 68, aku suruh secepat mungkin Dia kemari, lepas maghrib nanti kita pulang Jogja.” Aku hanya tersenyum hambar tanpa arti mendengar jawaban dari temanku. “Yah, kita kita lihat saja apakah Dia benar-benar datang atau itu hanya dimulut saja, jangan percaya bahasa SMS!”temanku satu lagi berkomentar. Sekali lagi aku hanya tersenyum hambar dan masih saja tanpa arti mendengar komentar dari temanku itu.
Ternyata Dia benar-benar datang, dengan mengenakan pakaian seperti biasa, kaos oblong, celana jeans biru dengan jaket hijau kesayangannya. Meski ada guratan lelah yang kutangkap di wajahnya, Dia masih berupaya untuk tersenyum. “Nyampe jam berapa?”Aku mencoba untuk berbasa-basi padanya, meski rasanya tak ingin kuungkapkan itu. “Jam delapan, kamu baik-baik aja kan, pasti kurang tidur!” Ia menjawab pertanyaanku kemudian diteruskan dengan melontarkan pertanyaan yang menurutku tidak memerlukan jawaban. “Kamu bisa melihat sendirikan?”ujarku menaggapi pertanyaannya. Dia tersenyum kemudian menggelengkan kepala, “Kamu nggak pernah bisa berubah!” Ia berkomentar singkat. Aku tersenyum dan tangan kanannya mengusap lembut kepalaku, seperti biasa dan Aku hanya diam saja.
Magrib menjelang, mendung yang sedari siang bergelayut di langit Bandung seolah mengantarkan kepulanganku. Dia ada di sisiku saat ini, justru membuatku semakin gamang untuk melangkah. Mungkin ini saat yang tepat untuk memutuskan semua, dia menjinjing Tasku yang berisi peuyeum dan beberapa oleh-oleh khas tanpa kuminta. Sebenarnya dia menawarkan untuk membawakan ranselku yang menyerupai punggung kura-kura namun kutolak tawaran itu, dengan alasan aku bisa membawanya sendiri. Kereta tampak lebih lenggang, ada bangku kosong di gerbong paling belakang, cukup untuk dua orang. Aku dan Dia duduk di sana. Kereta mulai melaju, kami masih terdiam pada satu jam pertama. Menginjak jam kedua Dia memecah kebisuan ini, “Tumben diam, biasanya cerewet, Ayo say ngomong, aku kangen celotehmu!” Aku menghembuskan nafas dalam, lalu berkomentar “Di, Aku mau jujur sama kamu, Aku lelah Di dengan semua ini, terutama hubungan kita.” Kulirik dia ada pias kaget diwajahnya, lalu ia bertandas”Maksud kamu?” Masih saja dia seperti biasa, telat mengerti omongan orang. “Aku nggak bisa terus menerus dijadikan ban serep!”Aku berkata setengah membentak, sampai-sampai seorang penumpang di depanku terkejut. “Di, memangnya aku nggak tahu kamu jemput aku ke Bandung sebelumnya kamu antar Gadis Garut itukan?”tegasku pada Dia. “Dari mana kamu tahu itu?”Dia agak terkejut aku melontarkan pernyataan itu. “Kamu nggak perlu tahu, jujur Ya atau Tidak?”kucecar dia dengan pertanyaan yang langsung menhujam itu. Dia mengangguk. Dan jawabannya sudah bisa memjawab semua kebimbanganku selama ini. “Aku harus jujur sama kamu, sepertinya nggak ada guna aku sembunyikan semua ini dari kamu. Toh suatu saat nanti kamu juga akan tahu” Dia berujar tiba-tiba saja. Aku semakin tak mengerti akan omongannya, seolah mengerti kebingunganku Dia menyambung kalimatnya yang terputus,”Selama ini Aku dekati kamu, juga Gadis Garut itu hanya untuk..hanya untuk..menyembuhkan penyakitku” Dahiku berkerut semakin tidak mengerti atas apa yang diucapkannya. “Maksud kamu?”tanyaku mempertegas . “Maafkan aku, sejak lama aku merasa ada yang kurang pada diriku, Aku tidak seperti laki-laki umumnya. Aku Gay. Kamu tahu latar belakang hidupku kan? Mungkin itu penyebab awal semua ini!”Sebuah pernyataan lugas juga jujur meluncur begitu saja dari mulutnya. “Selama ini aku mencoba menghilangkan kelainanku dengan mendekatimu juga Gadis Garut itu, tapi ternyata itu bukan hal yang mudah dan tak semudah yang Aku bayangkan, maafkan aku jika selama ini Aku banyak menyakitimu, terlalu banyak menanam harapan padamu, maafkan aku. Jujur aku sayang kamu juga Gadis Garut itu, tapi aku tak pernah bisa untuk mencintai kalian, semua keputusan ada padamu.”kejujurannya semakin membuatku sakit dan perasaanku saat itu bercampur, sakit karena selama ini ternyata Aku dipecundangi oleh orang yang aku sayangi, kecewa karena selama ini aku dijadikan pelampiasan, kasihan pada diri seorang anak manusia yang ingin mengubah nasibnya. Aku hanya diam, menatapnya tajam, air mata mengalir begitu saja dari mataku ini. Adzan subuh menjelang, Kahuripanpun telah berhenti di statiun Lempuyangan. Aku tahu apa yang harus aku putuskan. Dan Kahuripan, kereta terakhir itu menjadi saksi atas keputusanku. Dia dan Kahuripan, akan kusimpan sebagai sebuah kenangan.
Yogyakarta, 14 Februari 2004





Buat seorang teman, maaf beberapa cuplikan hidupmu ku sadur dalam cerita ini.
Untuk seorang sahabat, penggalan kisah itu kurawikan dalam tulisan ini.





1 comment:

donlenon said...

wah bagus banget post kamu kali ini dit! sebuah penggalan pengalaman yang diceritakan dengan rancak. sip men! semoga pengalamanmu di kahuripan itu bisa menginspirasi saya untuk segera mengikuti jejak mas Tofan untuk segera... Menikah.. LHO?!

he he he

bagus, banget tulisane bu!
yuk.. yak yukkk!!

regard,

donlenon
http://donlenon.blogspot.com