Ruangan dua kali tiga meter itu terluihat berantakan.
Barang-barang berserakan di semua sisi. Dua box kontainer berukuran besar warna
cokelat, satu kardus televisi, buku-buku,
pakaian, semua bercampur menjadi satu. Sementara si pemilk kamar, Nawang
memilih duduk di pinggir dipan. Dia hanya bisa menatap semua barang miliknya
yang berserakan di kamar. Dia menghela nafas panjang, matanya menatap
langit-langit kamar. Ah.. sayang sebenarnya Nawang meninggalkan ruangan mungil
ini. Kamar ini penuh cerita tawa, marah,
bahkan tangis Nawang pernah tumpah di kamar ini.
Nawang memutuskan untuk keluar kamar. Menuju dapur kecil rumah kosnya yang berada di bawah tangga. Dia mengambil panci dan mengisi air dari galon. “Bikin kopi sepertinya enak,” batin Nawang. Di rak makanannya masih ada dua sachet kopi instan. Kata orang kopi bisa membangkitkan mood orang. Aroma kopi itu begitu menyeruak. Nawang kembali masuk ke dalam kamar, menyalakan televisi yang siarannya bersaing dengan semut.
Sepertinya Nawang memang tinggal di Jakarta, tak jauh dari gedung KPK. Tetapi siaran televisi di sini payah sekali. Harus berlangganan tv kabel jika ingin mendapat siaran televisi dengan gambar jernih. Sebenarnya pemilik kos menyediakan fasilitias TV kabel. Jika Nawang mau dia bisa menyambung kabel dari depa. Namun Nawang enggan. Bukan masalah pembayaran, tetap stasiun televisi yang ada seragam, nyaris semuanya menyiarkan sinetron picisan atau acara musik yang tak jelas jutrungannya.
Lagi pula kesibukan Nawang di kantor membuatnya tak pernah sempat menonton televisi di rumah. Sepulang bekerja Nawang lebih memilih beristirahat ketimbang harus menonto televisi. Belum lagi jika rekan-rekan kerjanya mengajak untuk sekadar minum kopi atau teh tarik di Jalan Jaksa atau menghabiskan waktu di warung kopi Jalan Sabang.
Akhirnya Nawang menyalakan radio dari telepon selularnya. Dia biarkan saja penyiar bercuap-cuap di radio dan lagu-lagu mengalun perlahan dari telepon selularnya. Biar saja toh dia tak ingin melakukan apa-apa termasuk membereskan kamarnya hari itu. Apalagi untuk mengemas baran-barang dan mengirimka
Mata Nawang tertuju pada tas ukuran besar yang berada di pojokan kamar. Ya, Nawang
tahu itu tas Hardian, mantan kekasihnya. Sial betul Hardian ini tak sadar dia
menyimpak banyak barang di kamar Nawang. Itu baru satu barang di kolong tempat
tidur Nawang ada matras, senapan angin milik Hardian. Ada pula rak buku yang
sebetulnya bermanfaat bagi Nawang. Tetapi rak buku itu sudah kosong dan
dibersihkannya.
Nawang sudah beberapa hari menghubungi Hardian tapi tak ada
jawaban. Meski sebenarnya dia enggan menghubungi lelaki yang telah menyakitinya
itu. Tapi barang-barang Hardian. Tak mungkin Nawang meninggalkannya di rumah
kos atau menitipkannya pada ibu kos. Tak
mungkin juga Nawang membuangnya. Pakaian seragam dinas Hardian ada di tas itu Nawang
hanya khawatir apabila pakaian itu disumbangkan akan dimanfaatkan pihak lain
untuk memeras.
Tapi Hardian tak juga membalas pesanya. Nawang benar-benar
kesal dibuatnya. Seorang kawan menyarankan agar barang-barang itu digelatakan
saja di jalan biar Hardian mengambilnya. Tapi Nawang tak sampai hati. Dulu
ketika Hardian menitipkan barang-barang ini Nawang menjaganya sebagai sebuah
amanah. Tapi yang punya barang seperti tak peduli dengan barang-barang
miliknya. Nawang kesal benar-benar kesal.
Dia hanya ingin barang-barang ini kembali dengan baik pada Hardian.
Meski dia telah menyakiti Nawang. Buka hanya Nawang tetapi juga keluarganya.
***
Nawang mengenal Hardian pertengahan Desember 2010. Melalui
Santi, kawan kuliahnya dia mengenal Hardian.
Awalnya Nawang ragu ketika mengenal Hardian. Jauh sekali dari bayangan
lelaki ideal Nawang. Tetapi ketika itu Santi bisa meyakinkannya.
“Orangnya baik, Wang,” kata Santi, melalui pesan singkat
ketika itu. Nawang dan Hardian pun berkenalan melalui jejaring sosial. Sering
mereka berbalas komentar di jejaring sosial. Sampai akhirnya Hardian mengajak
Nawang bertemu.
Sore itu 31 Desember
2010.
Tepat dua minggu setelah Santi mengenalkan keduanya. Masih tersisa satu jam, sebelum jam kerja berakhir. Kawan-kawan sudah bersiap merayakkan tahun baru. Nawang memilih diam di balik komputer jinjing. Dia sedang mengkoreksi laporan keuangan akhir tahun. Sebetulnya pekerjaannya sudah selesai. Hanya saja dia ingin membaca ulang lagi sebelum masuk ke atasan Nawang.
Tepat dua minggu setelah Santi mengenalkan keduanya. Masih tersisa satu jam, sebelum jam kerja berakhir. Kawan-kawan sudah bersiap merayakkan tahun baru. Nawang memilih diam di balik komputer jinjing. Dia sedang mengkoreksi laporan keuangan akhir tahun. Sebetulnya pekerjaannya sudah selesai. Hanya saja dia ingin membaca ulang lagi sebelum masuk ke atasan Nawang.
Nawang tak terlalu antusias menghabiskan pergantian tahun.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya dia selalu suka menghabiskan pergantian tahun di kos.
Tidur atau membaca buku. Jika keluar sudah pasti satu, macet. Bagi Nawang lebih
enak Nawang menghabiskan waktu di kos sendirian. Sama seperti tahun-tahun
sebelumnya. Ajakan beberapa teman untuk menghabiskan waktu ditolaknya. Dia
malas berjejal dengan banyak orang. Dia malas larut dalam ingar bingar
keramaian kota. Tetapi sore itu dia tak kuasa menolak ajakan Hardian untuk
menghabiskan malam tahun baru bersama.
Tadinya Nawang meminta Hardian untuk langsung bertemu di
suatu tempat saja. Sekalian Nawang pulang dari kantor. Tetapi Hardian menolak.
Dia bilang sebaiknya Nawang pulang terlebih dahulu. “Nanti aku akan menjemputmu
Nawang,” kata Hardian, melalui pesan singkat.
Nawang tak kuasa menolak. Entah kenapa, biasanya Nawang sangat selektif
kepada lelaki yang hendak mengajaknya pergi. Tetapi tidak denga Hardian.
Padahal dia baru dua pekan mengenal Hardian. Akhirnya Hardian berjanji akan
menjemput Nawang pada pukul delapan malam. Cukup waktu bagi Nawang untuk
pulang, mandi, dan berganti pakaian.
Kantor Nawang sudah sepi. Padahal jam kerja masih kurang lima
belas menit. Pekerjaa Nawang sudah selesai. Mas Slamet, office boy kantornya pun sudah bersiap pulang. Melihat Nawang masih
ada di depan komputer dia menegur Nawang. “Belum pulang Mba Nawang?” tanyanya,
setengah hati.
“eh Mas, belum sebentar lagi. Lagipula jam kantor masih
kurang lima belas menit lagi,” kata Nawang tetapi matanya tak lepas dari depan
komputer.
Nawang memutuskan untuk segera pulang.entah hawa apa yang
mendorongnya untuk buru-buru tiba di kos, mandi , berdandan rapi, dan menunggu
Hardian datang menjemput. Malam itu keduanya menyusuri jalanan Jakarta. Belum
punya tujuan. Nawang tidak tahu banyak tempat nongkrong di Jakarta. Dia hanya
tahu Jalan Jaksa atau Jalan Sabang. Tetapi jika menuju dua tempat itu
kondisinya tidak memungkinkan apalagi dekat dengan Bundaran HI dan Monas yang
sudah pasti menjadi pusat keramaian tahun baru. Nawang sebetulnya tidak terlalu
antusias mencari tempat. Dia memilih diam dan mengikuti Hardian.
“Ke mana kita Wang? Udah punya ide?” tanya Hardian dari balik
kemudi Nawang hanya bisa mengangkat bahu dan menggeleng pelan. “Ke
mana ya?” Nawang balik bertanya. “Kita ke Sky
Dining Plaza Semanggi coba, siapa tahu belum penuh,” Nawang mencoba
mengusulkan.
Lantai 10 Plaza Semanggi itu penuh. Semua kursi sudah terisi
oleh orang-orang yang merayakkan tahun baru. Bahkan Radja Ketjil, tempat makan
favorit Nawang pun sudah penuh apalagi Solaria. Ada yang berkelompok ada pula
yang hanya berdua. Hardian dan Nawang duduk di pinggiran kolam air mancur.
Hardian membuka iphone keluaran terbaru. Nawang hanya melirik sekila, melihat
apa yang dicari Hardian. Dia mencari tempat makan yang strategis dan tak jauh
dari wilayah Jakarta Selatan.
Sebetulnya Nawang merasa tak enak karena dia tak tahu apa-apa
di Jakarta. Paling jauh tempat nongkrong Nawang di Blok M. Ya jelas saja Nawang
tak tahu tempat-tempat lain hanya Blok M, Jalan Sabang, Jalan Jaksa, Grand
Indonesia, Semanggi, ya yang tidak jauh dari kantor dan kos Nawang.
“Kita ke Kemang saja. Cari tempat di sana,” kata Hardian sambil menarik tangan Nawang. Gadis itu kaget, pipinya bersemu merah ketika Hardian menarik tangannya. Untung saja malam hari jadi dia tak melihat pipi Nawang merona.
No comments:
Post a Comment