Monday, August 11, 2014

#NAWANG SARI


Ruangan dua kali tiga meter itu terluihat berantakan. Barang-barang berserakan di semua sisi. Dua box kontainer berukuran besar warna cokelat, satu kardus televisi, buku-buku,  pakaian, semua bercampur menjadi satu. Sementara si pemilk kamar, Nawang memilih duduk di pinggir dipan. Dia hanya bisa menatap semua barang miliknya yang berserakan di kamar. Dia menghela nafas panjang, matanya menatap langit-langit kamar. Ah.. sayang sebenarnya Nawang meninggalkan ruangan mungil ini.  Kamar ini penuh cerita tawa, marah, bahkan tangis Nawang pernah tumpah di kamar ini. 

Nawang memutuskan untuk keluar kamar. Menuju dapur kecil rumah kosnya yang berada di bawah tangga. Dia mengambil panci dan mengisi air dari galon. “Bikin kopi sepertinya enak,” batin Nawang. Di rak makanannya masih ada dua sachet kopi instan. Kata orang kopi bisa membangkitkan mood orang. Aroma kopi itu begitu menyeruak. Nawang kembali masuk ke dalam kamar, menyalakan televisi yang siarannya bersaing dengan semut. 

Sepertinya Nawang memang  tinggal di Jakarta, tak jauh dari gedung KPK. Tetapi siaran televisi di sini payah sekali. Harus berlangganan tv kabel jika ingin mendapat siaran televisi  dengan gambar jernih. Sebenarnya pemilik kos menyediakan fasilitias TV kabel. Jika Nawang mau dia bisa menyambung kabel dari depa. Namun Nawang enggan. Bukan masalah pembayaran, tetap stasiun televisi yang ada seragam, nyaris semuanya menyiarkan sinetron picisan atau acara musik yang tak jelas jutrungannya.

Lagi pula kesibukan Nawang di kantor membuatnya tak pernah sempat menonton televisi di rumah. Sepulang bekerja Nawang lebih memilih beristirahat ketimbang harus menonto televisi. Belum lagi jika rekan-rekan kerjanya mengajak untuk sekadar minum kopi atau teh tarik di Jalan Jaksa atau menghabiskan waktu di warung kopi Jalan Sabang.

Akhirnya Nawang menyalakan radio dari telepon selularnya. Dia biarkan saja penyiar bercuap-cuap di radio dan lagu-lagu mengalun perlahan dari telepon selularnya. Biar saja toh dia tak ingin melakukan apa-apa termasuk membereskan kamarnya hari itu. Apalagi  untuk mengemas baran-barang dan mengirimkannya ke Kutoarjo, kota asalnya. Nawang benar-benar tidak ingin melakukan apa-apa hari itu. 
Mata Nawang tertuju pada tas ukuran  besar yang berada di pojokan kamar. Ya, Nawang tahu itu tas Hardian, mantan kekasihnya. Sial betul Hardian ini tak sadar dia menyimpak banyak barang di kamar Nawang. Itu baru satu barang di kolong tempat tidur Nawang ada matras, senapan angin milik Hardian. Ada pula rak buku yang sebetulnya bermanfaat bagi Nawang. Tetapi rak buku itu sudah kosong dan dibersihkannya. 
Nawang sudah beberapa hari menghubungi Hardian tapi tak ada jawaban. Meski sebenarnya dia enggan menghubungi lelaki yang telah menyakitinya itu. Tapi barang-barang Hardian. Tak mungkin Nawang meninggalkannya di rumah kos atau  menitipkannya pada ibu kos. Tak mungkin juga Nawang membuangnya. Pakaian seragam dinas Hardian ada di tas itu Nawang hanya khawatir apabila pakaian itu disumbangkan akan dimanfaatkan pihak lain untuk memeras.
Tapi Hardian tak juga membalas pesanya. Nawang benar-benar kesal dibuatnya. Seorang kawan menyarankan agar barang-barang itu digelatakan saja di jalan biar Hardian mengambilnya. Tapi Nawang tak sampai hati. Dulu ketika Hardian menitipkan barang-barang ini Nawang menjaganya sebagai sebuah amanah. Tapi yang punya barang seperti tak peduli dengan barang-barang miliknya. Nawang kesal benar-benar kesal.  Dia hanya ingin barang-barang ini kembali dengan baik pada Hardian. Meski dia telah menyakiti Nawang. Buka hanya Nawang tetapi juga keluarganya.
***
Nawang mengenal Hardian pertengahan Desember 2010. Melalui Santi, kawan kuliahnya dia mengenal Hardian.  Awalnya Nawang ragu ketika mengenal Hardian. Jauh sekali dari bayangan lelaki ideal Nawang. Tetapi ketika itu Santi bisa meyakinkannya.
“Orangnya baik, Wang,” kata Santi, melalui pesan singkat ketika itu. Nawang dan Hardian pun berkenalan melalui jejaring sosial. Sering mereka berbalas komentar di jejaring sosial. Sampai akhirnya Hardian mengajak Nawang bertemu.

Sore itu 31 Desember 2010
Tepat dua minggu setelah Santi mengenalkan keduanya.  Masih tersisa satu jam, sebelum jam kerja berakhir.  Kawan-kawan  sudah bersiap merayakkan tahun baru. Nawang memilih diam di balik komputer jinjing. Dia sedang mengkoreksi laporan keuangan akhir tahun. Sebetulnya pekerjaannya sudah selesai. Hanya saja dia ingin membaca ulang lagi sebelum masuk ke atasan Nawang.
Nawang tak terlalu antusias menghabiskan pergantian tahun. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya dia selalu suka menghabiskan pergantian tahun di kos. Tidur atau membaca buku. Jika keluar sudah pasti satu, macet. Bagi Nawang lebih enak Nawang menghabiskan waktu di kos sendirian. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ajakan beberapa teman untuk menghabiskan waktu ditolaknya. Dia malas berjejal dengan banyak orang. Dia malas larut dalam ingar bingar keramaian kota. Tetapi sore itu dia tak kuasa menolak ajakan Hardian untuk menghabiskan malam tahun baru bersama.
Tadinya Nawang meminta Hardian untuk langsung bertemu di suatu tempat saja. Sekalian Nawang pulang dari kantor. Tetapi Hardian menolak. Dia bilang sebaiknya Nawang pulang terlebih dahulu. “Nanti aku akan menjemputmu Nawang,” kata Hardian, melalui pesan singkat.  Nawang tak kuasa menolak. Entah kenapa, biasanya Nawang sangat selektif kepada lelaki yang hendak mengajaknya pergi. Tetapi tidak denga Hardian. Padahal dia baru dua pekan mengenal Hardian. Akhirnya Hardian berjanji akan menjemput Nawang pada pukul delapan malam. Cukup waktu bagi Nawang untuk pulang, mandi, dan berganti pakaian.
Kantor Nawang sudah sepi. Padahal jam kerja masih kurang lima belas menit. Pekerjaa Nawang sudah selesai. Mas Slamet, office boy kantornya pun sudah bersiap pulang. Melihat Nawang masih ada di depan komputer dia menegur Nawang. “Belum pulang Mba Nawang?” tanyanya, setengah hati.
“eh Mas, belum sebentar lagi. Lagipula jam kantor masih kurang lima belas menit lagi,” kata Nawang tetapi matanya tak lepas dari depan komputer.
Nawang memutuskan untuk segera pulang.entah hawa apa yang mendorongnya untuk buru-buru tiba di kos, mandi , berdandan rapi, dan menunggu Hardian datang menjemput. Malam itu keduanya menyusuri jalanan Jakarta. Belum punya tujuan. Nawang tidak tahu banyak tempat nongkrong di Jakarta. Dia hanya tahu Jalan Jaksa atau Jalan Sabang. Tetapi jika menuju dua tempat itu kondisinya tidak memungkinkan apalagi dekat dengan Bundaran HI dan Monas yang sudah pasti menjadi pusat keramaian tahun baru. Nawang sebetulnya tidak terlalu antusias mencari tempat. Dia memilih diam dan mengikuti Hardian.
“Ke mana kita Wang? Udah punya ide?” tanya Hardian dari balik kemudi Nawang hanya bisa mengangkat bahu dan menggeleng pelan. “Ke mana ya?” Nawang balik bertanya. “Kita ke Sky Dining Plaza Semanggi coba, siapa tahu belum penuh,” Nawang mencoba mengusulkan.
Lantai 10 Plaza Semanggi itu penuh. Semua kursi sudah terisi oleh orang-orang yang merayakkan tahun baru. Bahkan Radja Ketjil, tempat makan favorit Nawang pun sudah penuh apalagi Solaria. Ada yang berkelompok ada pula yang hanya berdua. Hardian dan Nawang duduk di pinggiran kolam air mancur. Hardian membuka iphone keluaran terbaru. Nawang hanya melirik sekila, melihat apa yang dicari Hardian. Dia mencari tempat makan yang strategis dan tak jauh dari wilayah Jakarta Selatan.
Sebetulnya Nawang merasa tak enak karena dia tak tahu apa-apa di Jakarta. Paling jauh tempat nongkrong Nawang di Blok M. Ya jelas saja Nawang tak tahu tempat-tempat lain hanya Blok M, Jalan Sabang, Jalan Jaksa, Grand Indonesia, Semanggi, ya yang tidak jauh dari kantor dan kos Nawang. 

“Kita ke Kemang saja. Cari tempat di sana,” kata Hardian sambil menarik tangan Nawang. Gadis itu kaget, pipinya bersemu merah ketika Hardian menarik tangannya. Untung saja malam hari jadi dia tak melihat pipi Nawang merona.

No comments: